![]() |
Gunung Ciremai |
Nyaris setiap bulan saya mendaki gunung, malahan sebulan bisa 2 sampai 4 kali, baik itu berdua saja dengan suami ataupun bersama-sama. Kecuali beberapa bulan ini, saya cuti mendaki karena cuaca yang lagi tidak bersahabat dan banyak kesibukan yang tak bisa saya ceritakan. Rasanya paling nikmat mengobati rindu dengan membayangkan saat-saat pendakian yang lalu.
Kali ini entah kenapa tiba-tiba saya memikirkan saat-saat horor dalam pendakian yang sulit dilupakan. Sama sekali tak ada niat apapun, apalagi untuk menakut-nakuti, murni hanya untuk menuangkan pengalaman horor dan uji nyali yang pernah saya alami.
Believe it or not... terserah !
Dari Gunung Ciremai, Merbabu, Slamet, Sindoro, Sumbing dan Cikuray. yang paling mistis saya alami adalah Ciremai via Linggarjati. So.. saya akan cerita via linggarjati terlebih dahulu, setelah itu gunung-gunung lainnya. Ciremai via Linggarjati bukan saja terkenal dengan medannya yang kejam dan mistis dibanding jalur lain di gunung Ciremai.
Beberapa pendapat mengatakan, kalau sudah lulus melewati jalur linggarjati, maka gunung lainpun bisa dilalui, dan itu cukup terbukti dengan yang saya alami. Setelah tiga kali saya mendaki gunung Ciremai via Linggarjati dalam setahun ini. Jika orang-orang merasa ampun-ampunan dijalur ini, tidak begitu dengan saya. Treknya memang kejam, dan saya pun lemah letih lunglai dibuatnya, tapi saya tidak pernah kapok melewati jalur Linggarjati. Entah mengapa jalur ini adalah favorit saya dibandingkan gunung lainnya.
Singkat cerita, di Pos 6 Pamerangan tempat saya mendirikan tenda dengan suami, pada malam hari terdengar suara neng kunti, dan itu bukan kami saja yang dengar, hampir sebagian pendaki yang camp di Pos 6 mendengarnya. Saya tidak takut dengan kejadian ini, karena ada suami dan banyak suara pendaki yang ngobrol.
Keesokan harinya ketika turun dari puncak, saya dan suami terkena perjalanan malam. Saya mendengar dengan jelas suara gamelan yang sangat kuno didaerah Bapa Tere, sangatttt kuno dan aneh kedengarannya. Saya hanya diam saja tak menceritakan hal ini pada suami.
Masih dikawasan antara Bapa Tere menuju Seruni, lampu tenda yang digunakan suami sebagai penerangan jalan pada saat itu tiba-tiba kedap kedip dalam waktu lama tanpa sebab, dan itu membuat saya terlalu takut karena perjalanan jadi terganggu dan semakin horor, namun tiba-tiba pula lampu menyala kembali dengan sendirinya.
Saya merasa janggal, dan bertanya pada suami :
Neng : "Lampunya kenapa kang ?"
Kang : "Kena guncangan neng ..
(Suami menjawab seperti itu agar saya tidak takut, padahal suamipun merasakan sesuatu hal yang janggal).
Masih dikawasan tersebut, tiba-tiba kami mencium bau menyengat, ternyata bau batang dan akar pohon yang baru tumbang, kami merasa disesatkan dengan adanya tiga pohon besar tumbang didepan mata, sehingga tak tau harus kemana arah jalan pulang.
Kami mencoba merayap dibagian atas pohon namun tidak berhasil karena membuat kami terperosok kedalam rerimbunan ranting pohon tumbang. Suasana saat itu sungguh menyeramkan, sunyi mencekam, dan gelap gulita. Banyak aura-aura negatif berkeliaran yang tak bisa saya ceritakan, saya hanya fokus bersama suami mencari jalan keluar dari tempat itu. Headlamp yang saya pakai dikelilingi rembetuk dan laron, sangat mengesalkan mengganggu penglihatan.
Setelah berbagi usaha kami lakukan, tiba-tiba saya melihat sesuatu berwarna putih jauh didepan pohon tumbang, awalnya saya takut, tapi karena penasaran saya lihat berulang-ulang, dan yeeyyyy. Ternyata petunjuk jalan, berarti ini bukan arah yang salah, namun karena terhalang adanya 3 pohon besar yang tumbang membuat jalur tertutup tak bisa dilewati.
Setelah mengamati diberbagai sudut, akhirnya dengan berat hati kami memutuskan melipir dipinggiran pohon tumbang berupa ranting-ranting yang dibawahnya adalah jurang!. Suami mencoba menggapai ranting demi ranting untuk dapat melewati jalur yang terhalang pohon tumbang, dan saya sangat pelan-pelan mengikuti dengan cermat dimana tempat suami menggapai dan berpijak.
Ranting bisa patah jika salah berpijak dan menggapainya, kami bisa terperosok. Butuh ketenangan yang luar biasa, sungguh uji nyali hidup dan mati rasanya pada saat itu. Sesampainnya di Pos 6 Pamerangan, kami bermalam lagi. Saya dan suami istirahat didalam tenda, sekitar jam 12 malam terdengar suara perempuan tertawa-tawa terbahak kencang berkali-kali.
Saya pikir adalah tawa canda pendaki diseberang tenda, tapi aneh... ko ketawa sendiri ? Tidak ada suara lain orang bicara maupun bercanda pada saat itu. Plissss deh ini tengah malam !!!
Setelah suara tawa hilang, tak lama kemudian terdengar jelas suara desahan perempuan sedang berbuat mesum, semakin lama semakin kencang, dan saya sempat sangat risih dibuatnya, saya pikir adalah suara dari sebelah tenda yang sedang berbuat mesum.
Hal tersebut membuat saya ngedumel pada suami "engga tau malu banget sih tuh orang !!"
Setelah suara itu hilang, suami dengan indahnya tidur nyenyak, sedangkan saya asik sendirian menghangatkan diri berdiam didekat kompor (didalam tenda) sambil mengerngkan kaos kaki yang basah didekat kompor.
Lalu... dengan jelas terdengarlah suara cekikikan neng kunti terus menerus. Suaranya sangat halus merdu, saya takut lalu membangunkan suami tapi engga bangun-bangun. Antara takut dan penasaran saya beranikan diri untuk membuka pintu tenda. Hiyyy gelap gulita, tak satupun tenda, menyalakan lampu, padahal pos ini sangat dipenuhi tenda-tenda pendaki, ada sekitar 20 tenda dan saya pun segera menutup kembali pintu tenda.
Suara cekikikan terus-menerus terdengar jelas tanpa henti membuat saya membangunkan suami lagi. kesal dan takutnya bukan main karena suami tak juga bergeming saat saya bangunkan, bahkan saking takutnya sampai saya tampar-tampar pipi suami dan saya goncang-goncangkan tubuhnya, namun beliau sama sekali tak bergerak. Diam dengan posisi tidur persis seperti orang mati, membuat saya semakin takut.
Akibat aksi panik membangunkan suami, kaos kaki terbakar dikompor, semakin panik dan repotlah saya pada saat itu, tapi bisa teratasi. Saya memberanikan diri lagi untuk membuka pintu tenda. Aduhh gile aje semakin gelap dan seram, saya beranikan diri keluar pintu tenda..Arghhhh.
Ternyata dari tenda sebelah terlihat cahaya redup seperti lilin, saya bergidik dan langsung masuk lagi ke tenda. Hasrat hati ingin membaca do'a, namun apa daya surat Al-Fatihah pun saya tak ingat (Parahhhh !! mendadak amnesia !!)..
Berkali-kali saya mengucap, "Audzu... audzu... audzu.. ya Allah audzu apa ?? audzu..audzu..apaaa ??"
Saya berusaha menenangkan diri, mengingat -ingat surat Al-Fatihah, hingga akhirnya berhasil mengingat, "Audzu... audzu.. audzubillahi minasyaitan nirrajim.. Bismillahirrahmanirrahim..." (Horeeee bisa ingat !)
Entah berapa ratus kali Al-Fatihah dan doa lainnya saya baca dalam waktu 2-3 jam tanpa hentim sambil mendengar suara cekikikan neng kunti yang terus terdengar jelas.
Neng kunti pakai batre apa sih ?? Alkaline ?? Kok ga ada cape nya !!
Saat menjelang subuh suara kunti pun belum berlalu, tiba-tiba saya mendengar suara pelan seorang laki-laki dari tenda sebelah :"La..la..sadar! La..sadar!"
saat itu saya baru menyadari, yang saya dengar berjam-jam tadi, suara ketawa kencang, suara mesum, dan suara kunti cekikikan, adalah suara dari tenda sebelah yang ternyata kesurupan. Saya kembali membangunkan suami, dengan maksud mengajak suami ke tenda sebelah untuk membantu doa, namun tetap saja beliau tak bergeming saat dibangunkan. Ampunnn, disirep atau kebluk maksimal sih !! Hiks hiks.
Akhirnya saya memberanikan diri membuka pintu tenda lagi, karena tak mampu berbuat banyak untuk menolong, saya konsentrasi mengarahkan mata saya kearah tenda sebelah sambil berkali-kali mengirim do'a.
Takut banget sebenarnya, tapi saya paksa beranikan diri karena sudah lemas linu mendengar suara si neng kunti konser tiada henti. Akhirnya, sayup-sayup terdengar adZan subuh, suara cekikikan hilang begitu saja.
Wawww!! Alhamdulillah... saya merasa lega, namun rasanya letih tiada tara ya Allah!! seperti habis tektok 7 gunung (lebay), secara saya belum istirahat/tidur sama sekali dari pagi ketemu pagi lagi. Setelah menunggu sekitar 15 menit tak ada bunyi cekikikan, saya pun bisa merebahkan badan dan tidur.
Baru 2 jam merasakan lelap, tiba-tiba pagi hari ada seseorang mengucap salam diluar tenda. Saya pun terbangun dan membangunkan suami. Ternyata mereka dari tenda sebelah yang temannya kesurupan.
Orang-orang datang memohon maaf, memberikan pesan dari neng kunti dan menceritakan peristiwa semalam. Suami yang tak tahu menahu kejadian semalam sempat gagal paham, dan akhirnya saya jelaskan.
Karena kejadian tersebut, mereka tak mau melanjutkan pendakian. Saya dan suami merasa kasian mereka jauh-jauh dari Krawang. Kami pun menawarkan bantuan untuk menemani teman mereka (yang kesurupan) di Pos 6 atau membawanya turun ke basecamp, agar yang lainnya bisa melanjutkan pendakian.
Namun secara halus tawaran kami ditolak, mereka tidak berani melanjutkan pendakian karena letih dan takut terjadi hal yang tak diinginkan, mereka ingin kembali ke basecamp saja dan pulang ke Krawang.